,

Janji Aja Dulu, Ketika Menang Amnesia 

oleh -68 Dilihat
oleh

Catatan: Raiza Rana Viola Riady 

Beragam jenis janji manis calon Wali Kota Palembang menarik simpatisan masyarakat agar memilih mereka dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tahun 2024.

Baik itu obral janji sekolah gratis, pengobatan gratis, mengentaskan persoalan kemiskinan, lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan masih banyak janji-janji manis lainnya.

Janji itu diibaratkan gula, terlalu banyak tidak baik bukan? Tentu akan menimbulkan penyakit dan risiko tinggi seperti diabetes.

Kompas pernah menerbitkan satu berita di tanggal 19 Februari 2021, tertulis Sumatera Selatan masuk dalam 10 Provinsi termiskin se-Indonesia

Sumatera Selatan itu kaya akan batu bara, minyak bumi, kopi, dan berbagai Sumber Daya Alam (SDA) lainnya, kenapa bisa masuk kategori 10 provinsi termiskin?

Masih bertanya-tanya, dulu bukannya Sumsel itu termasuk provinsi yang ngetop bukan? Dimana kegiatan event internasional dapat dilaksanakan, sekolah dan berobat gratis pun dulu sangat terasa bagi banyak kalangan masyarakat, pembangunan merata, jalan di beberapa daerah terbilang bagus.

Realisasi sekolah gratis banyak beri manfaat dan kemudahan bagi anak-anak yang nantinya jadi penerus bangsa.

Dulu di era kepemimpinan Alex Noerdin bisa terealisasi, tapi kenapa di era Herman Deru tidak dapat terealisasi, apa pendidikan tidak masuk skala prioritas penting bagi pemerintahan di Sumsel maupun kota Palembang saat ini?

Betapa pentingnya pendidikan, pendidikan tidak hanya persoalan ijazah atau tanda bukti seseorang itu dinyatakan pernah belajar, tapi pendidikan memberikan pengetahuan dan pembelajaran bagi anak-anak penerus bangsa.

Jangan sampai sekolah gratis hanya sebatas wacana, kalau ada pemimpin yang berjanji sekolah gratis, maka buktikanlah janji tersebut.

Dulu sekolah gratis dapat terealisasi, kenapa sekarang tidak? Bahkan waktu era Alex Noerdin sekolah gratis terlaksana, Sumsel tidak masuk dalam kategori 10 provinsi termiskin, ada apa?

Kota Tertua di Dunia yang malang 

Kota Palembang adalah Kota tertua di dunia sekaligus Ibukota dari Provinsi Sumatera Selatan yang dimana roda pemerintahan, tatanan perekonomian dimulai dari sana. Lihatlah ketika hujan deras, banyak titik jalanan mengalami banjir dan menyebabkan kemacetan bahkan tak sedikit kendaraan roda dua mogok tiap kali terkena dampak tersebut.

Belum lagi keluhan masalah pendidikan, mau masuk SMA pun sudah ada cawe-cawe dari oknum yang merasa punya power untuk membantu orang tua murid agar mendapatkan kesempatan anaknya bersekolah di SMA yang diinginkan anaknya.

Kalau ditinjau dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Palembang sebesar 4.3 Triliun (Sumber Bapenda Sumsel tahun 2023), rasanya sangat miris. Tapi mau gimana lagi, sudah amburadul dan berantakan, perlu dirapikan, butuh sosok yang gak cuma ngomong manis, tapi aksinya lebih manis.

Tak etis kalau hanya berbicara data tapi tidak langsung mencari tahu, menelusuri jalanan kota Palembang di siang hari ditambah cuaca yang panas, minum yang manis-manis dan dingin rasanya enak.

Tibalah di Kambang Iwak sambil memesan es teh manis dengan harga yang relatif wajar.

Bu, es teh satu ya, pesan saya kepada salah satu penjual es teh tersebut.

“Mau minum disini atau bungkus bang?,” kata penjual sambil melayani pembeli lain.

Minum disini saja Bu, sambil saya duduk di kursi yang disediakan si ibu.

Usai melayani pembeli lain, tibalah es teh saya diberikan ibu tersebut. Saya langsung dengan gaya sok akrab bertanya ke ibu.

“Ramai terus ya Bu, sepertinya lancar jualannya,” tanya saya.

“Alhamdulillah lah bang, bersyukur saja, musim susah seperti ini pahamlah,” kata si ibu.

“Musim susah seperti apa Bu?,” tanya saya lagi.

“Iya susah lah bang, gak ada kemajuan  Palembang ini, apa-apa susah, sekolah kini kian mahal, jualan pun naik turun, belum lagi setoran sewa tempat makin mahal, kami jualan ini kadang sedih juga beda dengan dulu,” ucap si ibu.

Lebih lanjut, emang sekarang ini sesulit itu kah kondisi disini?

“Iya bang susah, beneran ga bohong, dulu itu enak bang, tidak terlalu susah cari uang, maaf ya kalau dulu anak aku sekolah tidak ada bayaran SPP bulanan, kalau sekarang anak yang bungsu kan sudah masuk SMA di negeri, tiap bulan kena bayaran SPP, beda dengan jaman pak Alex dulu,” ujar si Ibu.

Memang pemimpin kita yang sekarang itu gimana bu?

“Banyak banget janji, buktinya nihil, bicara ini itu, buktinyo apa? Jalan sekarang ini, makin hari makin hancur, tiap hujan perhatikan banjir dimana-mana, belum lagi sekarang sering razia, kami nih lah sewa disini tuh, bayar sewa bukan tidak termasuk bayar uang kebersihan, kami cari uang untuk makan, anak sekolah, tapi tidak bisa diomongkan lagi, sedih benar rasonya,” ungkap si Ibu.

Salah satu pembeli pun ikut bicara, benar kata ibu itu, sekarang ini makin susah, jalan di kota banyak rusak, berlobang, kalau banjir lihatlah dekat arah Polda pasti banjir, belum lagi di titik lainnya.

“Kedepan aku lebih baik golput, maaf saja untuk memilih, banyak janji, komitmen tidak ada, kalau sudah jadi seperti orang gila dan pura pura tak tahu, hanya mementingkan urusan keluarga pejabat itu sendiri, warga kurang dipedulikan, belum lagi sekarang susah cari pekerjaan, lapangan pekerjaan itu isinya rata-rata titipan orang dalam,” ucap pembeli lain yang ikut antri beli es teh.

“Jaman pak Eddy Santana dulu enak, ditambah lagi jaman pak Alex, sekalipun pak Alex itu kena kasus, tapi jaman dia lah Sumsel tuh maju-maju betul, pembangunan dimana-mana merata, programnya jelas dan terasa manfaatnya,” lanjutnya.

Saya sejenak diam, dan merenungi perkataan si ibu penjual dan salah satu pembeli tersebut.

Dipikir-pikir, perkataan mereka itu banyak benarnya, dulu saya sekolah di salah satu SMA Negeri di Palembang pun tidak pernah sekalipun dimintai untuk membayar SPP bulanan, berbeda dengan saat ini.

Kalau dilihat dan diamati bahwa kekecewaan masyarakat itu hampir sama, mereka juga memperhatikan secara tidak langsung bagaimana seorang pemimpin di daerah mereka, jika pemimpin itu berhasil, sekalipun melakukan sebuah kesalahan, tetap mereka masih memuji, berbeda dengan pemimpin yang tak banyak berbuat, tentu pastinya akan jadi buah bibir yang tak enak.

Lantas bagaimana dengan pilkada kali ini?

#Salamperubahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *