Bantuan Beras dan Lingkaran Pemiskinan

oleh -86 Dilihat
oleh
Img 20240125 Wa0007

Serumpunsebalai.com, Jakarta – Harga beras merangkak naik, melebihi tahun lalu. Pemerintah berupaya meredam dengan mempercepat impor dan intervensi pasar. Berita utama di halaman depan harian Kompas pada Selasa (23/1/2024) ini berdampingan dengan artikel kunjungan Presiden Joko Widodo ke Jawa Tengah, yang salah satu agendanya menyalurkan bantuan beras.

Dua berita ini menunjukkan kelindan masalah pangan dengan politik. Dalam debat calon wakil presiden pada Minggu (21/1/2024), soal pangan juga menjadi salah satu topik hangat sekalipun banyak hal substansial justru luput dibicarakan.

Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Presiden Jokowi, menyampaikan keberhasilan program food estate (lumbung pangan), salah satunya di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, karena sudah panen jagung dan singkong. ”Cek saja datanya,” ujarnya.

Faktanya, kegagalan food estate di Gunung Mas telah berulang kali dilaporkan media dan organisasi masyarakat sipil. Laporan Kompas yang didukung Pulitzer Center pada 30 Agustus 2022 juga mengungkap sengkarut lumbung pangan di bawah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang kini menjadi calon presiden berpasangan dengan Gibran.

Proyek ini dilakukan dengan membuka hutan dan menggusur ladang masyarakat hingga 31.000 hektar (ha). Sedikitnya, 600 ha lahan telah dibuka dan ditanami singkong sejak Maret 2021. Namun, Minggu (24/7/2022), saat kami ke lokasi, tanaman singkong yang berumur lebih dari setahun itu tak bisa dipanen.

Pembabatan hutan dan konsolidasi tanah dengan alat berat telah mengupas lapisan humus, menyisakan tanah berpasir atau kerangas. Singkong menjadi kerdil dan banyak yang mati. Selain pertanyaan soal ke mana kayu tebangan ini dan gagalnya panen singkong, proyek ini juga menyisakan sengketa agraria dengan peladang lokal.

Belakangan, area itu ditanami jagung oleh Kementerian Pertanian. Namun, diberitakan Kompas.id pada 8 Januari 2024, penanaman jagung merupakan upaya menutupi kegagalan penanaman singkong. Karena lapisan humus telah hilang, tanah dan air untuk jagung pun harus diberi perlakuan khusus, menjadikannya tidak ekonomis dan bakal sulit berkelanjutan.

Kegagalan juga terjadi di lokasi food estate lain, misalnya di Desa Fatuketi, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Saat kami ke Fatuketi pada Rabu (16/8/2023), tanaman jagung di food estate yang diresmikan Presiden satu setengah tahun sebelumnya kekeringan karena bendungannya juga kering. Petani harus membeli air tangki untuk menyiram jagung, padahal kebutuhan air untuk minum juga terbatas (Kompas, 20/10/2023).

Korporatisasi melalui ’food estate’ di sektor pertanian kita yang padat karya jelas bukan solusi ideal. Apalagi, bantuan beras yang rentan dipolitisasi

Banyak laporan yang menunjukkan masalah food estate di berbagai lokasi, mengingatkan kegagalan berulang proyek serupa di masa lalu. Sejarah mencatat, proyek Pengolahan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar oleh Presiden Soeharto pada tahun 1996 yang direncanakan untuk pangan tidak hanya gagal, tetapi menjadi sumber bencana lingkungan.

Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2010 yang dimulai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menjadi sumber masalah sosial dan lingkungan. Proyek yang dipromosikan dengan slogan ”beri makan Indonesia dan beri makan dunia” ini berupaya mengonversi 1,2 juta hektar hutan ulayat Marind-Anim menjadi agroindustri dan perkebunan.

Proyek ini dilanjutkan Jokowi. Upaya cetak sawah baru dilakukan dengan melibatkan militer, sejalan dengan pembukaan hutan untuk agroindustri perkebunan dan kayu. Namun, jangankan memberi makan dunia, masyarakat lokal Merauke kini limbung pangan. Hutan yang menjadi sumber pangan telah hancur, sementara cetak sawah mengalami kegagalan, membuat Marind-Anim mengalami gastrokolonialisme karena ketergantungan pangan dari luar yang tidak bisa diproduksi sendiri (Kompas, 13/12/2023).

Semakin tidak berdaulat

Proyek food estate, yang kerap berkelindan dengan sengketa agraria, telah menjadi solusi palsu dari sistem pangan kita yang semakin tidak berdaulat. Dwi Andreas Santosa (Kompas, 15/12/2023) menyebutkan, defisit neraca perdagangan komoditas pertanian menjadi hampir dua kali lipat selama hampir 10 tahun terakhir, dari 8,90 miliar dollar AS (2013) menjadi 16,24 miliar dollar AS atau setara Rp 252 triliun (2022). Padahal, kedaulatan pangan merupakan salah satu dari visi Nawacita Jokowi dalam periode pertama pemerintahannya.

Masalah lain adalah tingginya konversi lahan pertanian berbarengan dengan gagalnya regenerasi petani. Petani, yang merupakan tulang punggung sistem pangan kita, harus menanggung beban ketidakadilan. Terperangkap dalam sempitnya lahan, siklus utang karena mahalnya input pertanian, hingga harga jual panen yang rendah, menjadikan mereka kelompok paria. Inilah yang membuat orang tua petani rata-rata melarang anaknya menjadi petani.

Dengan meningkatnya inflasi harga pangan, sebagian besar rumah tangga yang berpenghasilan rendah, dan ironisnya sebagian adalah kalangan petani, kesulitan menjangkau makanan bergizi. Merekalah yang kini menjadi salah satu kelompok sasaran penerima bantuan beras itu.

Tidak ada peluru perak untuk mengatasi masalah pangan kita. Akan tetapi, korporatisasi melalui food estate di sektor pertanian kita yang padat karya jelas bukan solusi ideal. Apalagi, bantuan beras, yang rentan dipolitisasi.

Penguatan sistem pangan kita harus dimulai dengan menguatkan ekonomi petani, yang saat ini jumlahnya sebesar 28,42 juta rumah tangga, setara 113 juta jiwa. Selain memperkuat subsidi untuk produksi petani, terutama yang dibutuhkan adalah redistribusi tanah untuk mengatasi ketimpangan penguasaan.

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 68 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Sementara lebih dari 16 juta rumah tangga petani bergantung hidup pada lahan yang rata-rata hanya di bawah setengah hektar.

Di tengah Reformasi Agraria, hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 oleh Badan Pusat Statistik justru menunjukkan, persentase rumah tangga petani berlahan sempit ini telah meningkat pada periode 2013-2023 menjadi 62,05 persen. Persentase terbesar berada di sentra produksi pangan Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat 81,36 persen, Jawa Timur 82,45 persen, Jawa Tengah 83 persen, dan DI Yogyakarta 89,64 persen.

Reformasi Agraria bisa dimaknai sebagai salah satu upaya untuk mendorong daya adaptasi petani yang bakal makin sulit ke depannya di tengah ancaman krisis iklim. Cuaca ekstrem, selain menurunkan produktivitas tanaman, juga menggerogoti kemampuan fisik petani.

Tanpa menyelesaikan ketimpangan tanah yang menjadi unsur paling mendasar dari produksi pangan dan ekonomi petani, sulit kiranya kita bakal keluar dari krisis pangan yang bakal menguat di tahun-tahun mendatang. Sayangnya, hal ini yang justru minim dibicarakan dalam debat cawapres. (Editor: Reza)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *